
Wajahku pucat. Langkah kaki para pemuda pemburu tidak lagi terdengar samar. Tak terasa tubuhku bergetar hebat, betapa tidak, dari celah gua ia mampu melihat para pemburu itu berada di atas kepalanya. Setengah berbisik aku berkata pada Kekasihku; Cintaku….
“Wahai Kekasih, jika mereka meninjau ke sini,
Sungguhnya pasti mereka melihat kita berdua”.
Dia memandang Aku penuh makna. Ditepuknya belakangku ini perlahan sambil berujar,
“Janganlah engkau kira, kita hanya berdua.
Sesungguhnya kita bertiga…”
Sejenak ketenangan menyapa diriku. Sama sekali tidak Aku khuatirkan keselamatan diriku. Kematian bagiku bukan apa-apa, Aku hanya lelaki biasa. Sedang, untuk lelaki tampan yang kini dekat di sampingku, keselamatan di atas mati dan hidupnya.
Bagaimana semesta jadinya tanpa penerang.
Bagaimana buana jika harus kehilangan purnama.
Bagaimana dunia tanpa kunci kasih sayang…
Sungguh, Aku tak gentar dengan tajam mata pedang para pemuda pemburu , yang akan merobek lambung serta menumpahkan darahku.
Sungguh, Aku tidak khuatir runcing anak panah yang akan menghunjam setiap jengkal tubuhku ini. Aku hanya takut, Kekasihku, ya Cintaku.. mereka membunuh Nyawa Cintaku….
Berdua Kami berhadapan, dan Kami sepakat untuk bergantian berjaga. Dan keakraban mempersona itu bukan sebuah kebohongan. Aku memandang wajah syahdu di depanku dalam hening. Setiap guratan di wajah indah itu Aku perhatikan saksama. Aduhai betapa Aku mencintai lelaki ini. Kelelahan yang mendera setelah berperjalanan jauh, seketika seperti ditelan kegelapan gua. Wajah di depanku meleburkan penat yang Aku rasa. Hanya ada satu nama yang berdebur dalam dadaku. Cinta.
Sejeda kemudian, Dia melabuhkan kepalanya di pangkuanku. Dan seperti anak kecil, Aku berenang dalam samudera kegembiraan yang sempurna. Tak ada yang dapat mempesonakannya selama hidup kecuali saat kepala Kekasihku, Cintaku berbantalkan kedua peha ini.
Mata Dia terpejam. Dengan hati-hati, seperti seorang ibu, telapak Tanganku , mengusap peluh di kening Dia. Masih dalam senyap, Aku terus terpesona dengan sosok cinta yang tengah beristirehat diam di pangkuanku. Sebuah rasa mengalun dalam hati ini…
“ betapa ingin Aku menikmati ini selamanya…”.
Nafas harum itu terhembus satu-satu, menyapa wajahku yang sangat dekat. Aku tersenyum, sepenuh kalbu Aku menatapnya lagi. Tak jenuh, tak bosan. Dan seketika wajahku muram. Aku teringat perlakuan orang-orang yang memburu Purnama Jagat – Pelita Hatiku seperti memburu haiwan buruan.
Bagaimana mungkin mereka begitu keji mengganggu Dia , yang begitu santun kasihnya….
“Selama hayat berada dalam raga,
aku akan selalu berada di sampingmu,
untuk membelamu dan tak akan
membiarkan sesiapapun menganggumu”.
Sunyi tetap terasa. Gua itu begitu dingin dan remang-remang. Abu Aku menyandarkan tubuh di dinding gua. Kekasihku , masih saja mengalun dalam istirehatnya. Dan tiba-tiba saja, seekor ular mendesis-desis perlahan mendatangi kakiku yang terlentang. Aku menatapnya waspada, ingin sekali Aku menarik kedua kakiku untuk menjauh dari haiwan berbisa itu. Namun, keinginan itu Aku lenyapkannya dari benak, tak ingin ia mengganggu tidur nyaman Lelaki yang Cintai ini. Bagaimana mungkin, Aku tegar membangunkan kekasih itu. Aku meringis, ketika ular itu mematuk pergelangan kaki, kakiku tetap saja tak bergerak sedikitpun. Dan ular itu pergi setelah beberapa lama.
Dalam hening, sekujur tubuhku terasa panas. Bisa ular segera menjalar cepat. Aku menangis diam-diam. Rasa sakit itu tak dapat ditahan lagi. Tanpa sengaja, air mataku menitis mengenai pipi Kekasihku yang tengah berbaring. Aku menghentikan tangisan, kebimbanganku terbukti, Dia yang kucintai terjaga dan menatapku penuh rasa ingin tahu.
“Wahai teman, apakah engkau menangis kerana menyesal mengikuti perjalanan ini”, suara Dia memenuhi udara gua.
“Tentu saja tidak, redha dan ikhlas mengikutimu ke mana pun”
Aku pantas memintas meski masih dalam kesakitan.
“Lalu mengapakah, engkau meluruhkan air mata?”
“Seekor ular, baru saja mematukku, wahai sahabat,
dan bisanya menjalar begitu cepat”
Dia menatap diriku penuh kehairanan, tak seberapa lama bibir manisnya bergerak,
“Mengapa engkau tidak menghindarinya?”
“Aku khuatir membangunkan engkau dari lelap”
Jawabku sendu.
Sebenarnya saat itu Aku menyesal kerana tidak dapat menahan air mata hingga mengenai pipi Dia Kasihku dan membuatnya terjaga.
Saat itu air mata bukan lagi milik Aku saja. Malahan mata Musthafa berkabut dan bening air mata tergenang di pelupuknya. Betapa indah sebuah sulaman kasih ini…...
“Sungguh bahagia, aku memiliki dirimu ”.
Tanpa menunggu waktu, dengan penuh kasih sayang, Musthafa meraih pergelangan kakiku yang digigit ular. Dengan mengagungkan nama Allah pencipta semesta, Dia mengusap bekas gigitan itu. Maha suci Allah, seketika rasa sakit itu tak lagi ada. Aku segera menarik kaki kerana malu. Dia Cintaku masih memandangku penuh sayang.
“Bagaimana mungkin,
mereka tegar menyakiti manusia indah seperti mu.
Bagaimana mungkin?”
nyaring hatiku kemudian.
Gua itu kembali ditelan sepi. Kini giliran Aku yang beristirehat dan Dia berjaga. Dan, Aku menggeleng beberapa kali ketika Lelaki yang tercinta ini menawarkan pangkuannya. Tak akan rela, diriku membebani pangkuan penuh berkah itu…
Ketika Rasulullah berada di hadapan,
Ku pandangi pesonanya dari kaki hingga hujung kepala
Tahukah kalian apa yang terjelma?
Cinta!
(Abu Bakar Shiddiq r.a)
{ Gubahan Kreatif Dari Inspirasi Kisah Agung
Saiyidina Abu Bakar as-Siddiq Bersama Rasulullah Di Dalam Gua Tsur}